Bab 8


Model Penumbuhan Usaha Baru

A.   Latar Belakang
Permasalahan besar yang dihadapi oleh Indonesia saat ini adalah kurangnya jumlah wirausaha dengan produktivitas dan daya saing yang tinggi.  Upaya  meningkatkan  daya  saing  bangsa  harus  dimulai  dari mengembangkan  kewirausahaan  dari  para  wirausahawan  (pemilik  dan pengelola unit usaha) yang telah ada serta menumbuhkan wirausaha atau minimal unit-unit usaha baru pada sektor-sektor yang produktif sesuai dengan potensi daerah. Pengembangan kewirausahaan juga diharapkan akan meningkatkan daya tahan bangsa, yang terbukti pada saat krisis ekonomi usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang mengandalkan bahan baku lokal dan memiliki keunggulan kompetitif.

Hal ini dibuktikan dari peran UKM yang menjadi katup pengamanan perekonomian nasional, dan motor pemulihan ekonomi pada tahun–tahun awal krisis ekonomi. Walaupun UMKM merupakan pelaku ekonomi utama di Indonesia, namun produktivitasnya diukur dengan nilai tambah per tenaga kerja  sangat  jauh  tertinggal.  Penyebabnya  diduga  adalah  faktor kewirausahaan, skala usaha dan sebagian besar UMKM berada pada sektor yang kurang produktif dan jenuh, serta tidak berbasis Iptek. Untuk itu, upaya penumbuhan unit usaha baru khususnya usaha kecil dan menengah yang berbasis pengetahuan dan teknologi perlu didorong dan dikembangkan, terutama untuk sektor industri pengolahan, sektor keuangan dan jasa pengembangan bisnis.

Untuk  tujuan  tersebut,  Kementerian  koperasi  dan  UMKM mencanangkan penumbuhan 6 juta unit usaha baru di Indonesia selama periode tahun 2005 - 2009. Sekitar 5,3 juta unit usaha baru diprediksikan akan tumbuh secara alami pada sektor-sektor ekonomi yang telah ada, sedang 700.000 unit usaha baru perlu diarahkan pada sektor-sektor usaha yang  berbasis  pengetahuan  dan  teknologi  serta  sektor  yang  mampu meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian nasional.

Untuk  mewujudkan  6  juta  unit  usaha  baru,  dan  yang  berbasis pengetahuan dan teknologi tentunya bukan merupakan pekerjaan yang mudah, karena terkait dengan risiko bisnis yang dihadapi usaha baru, serta mengubah motivasi dan perilaku wirausaha baru tersebut. Untuk itu, perlu dilakukan  kajian  yang  komprehensif  untuk  mengetahui  model-model penumbuhan unit usaha baru yang efektif dan menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan program tersebut, termasuk aspek kebijakan  pemerintah, kelembagaan,  dan  dukungan  perkuatan  lainnya, seperti  kurikulum,  pelatihan,  pembiayaan,  teknologi,  pemasaran  dan distribusi, kemitraan, ketersediaan sumber bahan baku secara berkelanjutan, pendampingan, sarana dan prasarana dan lain-lain.


B.    Pengertian Wirausaha dan Unit Usaha
Badan Pusat Statistik mendefinisikan unit usaha adalah unit yang melakukan kegiatan yang dilakukan oleh perseorangan atau rumah tangga maupun  suatu  badan  dan  mempunyai  kewenangan  yang  ditentukan berdasarkan kebenaran lokasi bangunan fisik, dan wilayah operasinya. Dalam kajian ini, pengertian unit usaha yang digunakan mengacu pada pengertian unit usaha yang digunakan oleh BPS tersebut, karena lebih mudah  pendataannya  dan  validitasnya  dinilai  lebih  baik.  Unit  usaha dibedakan berdasarkan skala usahanya, yaitu : usaha mikro, usaha kecil, usaha menengah dan usaha besar. Berdasarkan pengertian wirausaha dan unit usaha diatas, maka penumbuhan unit usaha baru sangat erat kaitannya dengan pengembangan wirausaha baru, sehingga dalam kajian ini digunakan terminologi wirausaha dan unit usaha baru serta kewirausahaan yang sifatnya saling melengkapi.

C.    Kerangka Pemikiran 
Gnyawali  dan  Fogel,  1994,  mengembangkan  suatu  model  yang menjelaskan  hubungan  antara  berbagai  faktor  yang  terkait  dengan penumbuhan unit usaha baru. Faktor-faktor tersebut, yaitu: opportunity, ability to interprise, propensity to  interprise, likelihood to interprise, dan new venturacreation, seperti ditunjukkan pada bagan 1. Dari bagan tersebut tersebut, terlihat adanya faktor-faktor yang berpengaruh terhadap upaya penumbuhan suatu unit usaha baru, termasuk peranan pemerintah dalam upaya pengembangan iklim usaha yang kondusif dan dukungan perkuatan kepada wirausaha baru, serta faktor-faktor sosial ekonomi.

Berbagai penelitian mengidentifikasi lima faktor lingkungan yang berpengaruh dalam pengembangan kewirausahaan, yaitu: prosedur dan kebijakan pemerintah (Agung NF), kondisi sosial ekonomi (Agung NF,1996),  ketrampilan  kewirausahaan  dan  kemampuan  bisnis, dukungan keuangan, dukungan non keuangan, Kombinasi yang tepat dari kelima faktor tersebut ditambah kehadiran calon wirausaha dan kegiatan bisnis baru akan menumbuhkan unit usaha baru (Agung NF,1996, Gnyawali dan Fogel, 1994, ACG,2004).

Vesper (1990) mengidentifikasi empat unsur pembentuk wirausaha baru, yaitu: (1) peluang bisnis yang menguntungkan, (2) pengetahuan teknis kewirausahaan, (3) ketrampilan bisnis, (4) inisiatif wirausaha. Pengetahuan teknis  dan  ketrampilan  bisnis  ini  oleh  Gnyawali  dan  Fogel  (1994) didefinisikan sebagai ability to enterprise, sedang inisiatif didefinisikan sebagai propensity to enterprise (El-Namaki, 1988; Gnyawali & Fogel, 1994).  Jadi,  menurut  Gnyawali  dan  Fogel,  tiga  elemen  pokok  yang mempengaruhi pembentukan kewirausahaan adalah peluang (opportunity), kemauan  berwirausaha  (propensity  to  enterprise),  dan  kemampuan berwirausaha (ability to enterprise).

Sinergi dari peluang usaha, kemauan dan kemampuan berwirausaha dari masyarakat akan meningkatkan kemungkinan seseorang membuka unit usaha baru, tapi belum tentu akan mewujudkannya, karena pertimbangan risiko kegagalan dan keberhasilannya. Demikian juga diperlukan serta adanya  dukungan  perkuatan  berupa  modal  atau  sumber  pembiayaan usahanya lebih lanjut dan ketersediaan dukungan lainnya, berupa: akses pasar, teknologi, kompetensi SDM, akses bahan baku secara berkelanjutan.

Tugas pemerintah, dunia usaha dan dunia pendidikan di Indonesia untuk dapat mensinergikan kelima unsur pembentuk unit usaha baru agar mudah diakses oleh masyarakat, sehingga potensi masyarakat menjadi wirausahawan baru atau potensi masyarakat membuka unit usaha baru menjadi semakin besar.

Bagan 1. Model Penumbuhan  Unit Usaha Baru


D.   Identifikasi Model Penumbuhan Unit Usaha Baru 
Model penumbuhan unit usaha baru di Indonesia jenisnya sangat banyak, dari yang bersifat alami sampai dengan model yang distimulan oleh pemerintah. Pendorong tumbuhnya unit usaha baru yang bersifat alami juga sangat beragam, dari faktor perkembangan kondisi ekonomi nasional dan lokal, perkembangan bisnis sebelumnya, faktor sosial budaya masyarakat, meniru keberhasilan orang lain, sampai yang bersifat keterpaksaan, karena sulit memperoleh pekerjaan. Dalam kajian ini, dapat diidentifikasi 18 model penumbuhan  unit  usaha  baru  yang  dinilai  relatif  produktif  yang dikelompokkan menjadi  4 model, yaitu: (1) Model Formal-Bisnis, (2) Model Formal Non-Bisnis, (3) Model Informal, dan (4) Model Program Pemerintah, lihat bagan 2.

Model  penumbuhan usaha secara formal bisnis umumnya dilakukan oleh usaha berskala menengah dan besar. Pendorong utama pertumbuhan unit usaha ini adalah perluasan pasar. Bentuk perluasan usahanya dapat dilakukan secara mandiri dengan membuka anak perusahaan dan membuka kantor cabang; atau upaya perluasan usaha melalui kerjasama dengan pihak lain, berupa: membuka usaha patungan, membuka waralaba, membuka keagenan,  melakukan  subkontrak  atau  mengembangkan  mekanisme penjualan  langsung.  Perluasan  usaha  yang  melibatkan  pihak  lainnya umumnya diikat dalam bentuk kontrak bisnis secara formal. 
Model  penumbuhan  unit  usaha  formal  non-bisnis  adalah  model penumbuhan unit usaha yang dilakukan oleh lembaga-lembaga formal (pemerintah/ dunia usaha/ dunia pendidikan) tidak dalam kerangka kerja untuk kepentingan bisnis, dalam arti upaya penumbuhan unit usaha baru tidak terkait dengan bisnis lembaga stimulan.  Dalam model ini unit usaha yang dihasilkan tidak langsung berasal dari kegiatan perusahaan/instansi induk/pelaksana. Penumbuhan unit usaha baru lebih banyak berasal dari perubahan  sikap  dan  kemampuan  yang  dihasilkan  oleh  proses  usaha perusahaan/instansi induk/pelaksana. Contoh induk pelaksana model ini adalah  lembaga  pendidikan  umum,  lembaga  pelatihan  kerja,  asosiasi perusahaan/profesi dan koperasi.

Model penumbuhan unit usaha baru yang bersifat informal adalah yang paling menonjol di Indonesia, dan diperkirakan lebih dari 90% unit usaha baru di Indonesia lahir dari model ini. Pendorong utama pembentukan usaha baru ini adalah: (1) sistem kekerabatan yang masih kental di Indonesia, sehingga pengusaha berkecenderungan menampung keluarga yang belum bekerja, (2) komoditas yang dijual oleh UMKM berteknologi sederhana, sehingga mudah ditiru, (3) kesempatan usaha yang terbuka luas, sehingga banyak unit usaha yang lahir karena faktor kebetulan, (4) keterpaksaan untuk menyambung hidup atau mengisi waktu, karena sulit memperoleh pekerjaan, (5) faktor sosial budaya dan lain-lain.

Model program pemerintah adalah model penumbuhan unit usaha yang distimulan  oleh  program  pemerintah,  seperti:  model  pengembangan kelompok  self  employed  yang  dilakukan  oleh  Depnaker,  program pemberdayaan Sentra UKM dan Prospek Mandiri yang dilakukan oleh Kementerian  Negara  Koperasi  dan  UKM,  serta  berbagai  program pemberdayaan masyarakat lainnya yang dilakukan oleh berbagai instansi pemerintah di pusat dan daerah. Dalam kajian ini, hanya akan dievaluasi untuk  4  program,  yaitu:  Prospek  Mandiri,  Sentra  UKM,  KUB,  dan pengembangan pekerja mandiri.
Bagan  2. Model Umum Yang Telah Ada Bagi Penumbuhan Usaha Baru di Indonesia
E.    Peran Pendidikan Formal Dalam Menumbuhkan Unit Usaha Baru Di Indonesia
Pendidikan formal di Indonesia saat ini hanya berfokus pada upaya mengembangkan sisi pengetahuan peserta didik memahami bagaimana suatu bisnis seharusnya dijalankan, dan bukan pada upaya mengembangkan sisi sikap untuk berwirausaha serta pengalaman berwirausaha.  Fenomena  ini  disebabkan    sistem  pendidikan  di Indonesia yang lebih menekankan pada sisi hard skill daripada soft skill, sehingga sisi kognitif peserta didik yang lebih diutamakan daripada sisi afektif dan psikomotoriknya (Lead Education 2005). Akibatnya,  lulusan  pendidikan  formal  secara  umum  memiliki pemahaman pengetahuan yang relatif baik mengenai kewirausahaan, tapi tidak memiliki ketrampilan dan mind-set berwirausaha.

Pendidikan ‘pengetahuan’ kewirausahaan telah diajarkan secara intrakurikuler baik sebagai mata kuliah/ mata pelajaran yang tersendiri maupun sebagai bagian (topik bahasan). Sayangnya, pembahasan kewirausahaan di lembaga pendidikan formal lebih didasarkan pada mengajarkan substansi buku teks, daripada memberikan pengalaman nyata bagi peserta didik untuk berwirausaha, sehingga tidak mampu mengubah pola pikir dan sikap peserta didik.

Studi  yang  dilakukan  oleh  Lead  Education  (2005) mengindikasikan soft skill lebih menentukan keberhasilan lulusan perguruan tinggi untuk memperoleh pekerjaan dan bekerja bekerja secara produktif, maupun berkarir lebih cepat dibandingkan koleganya.  Pada sisi lain kurikulum pendidikan tinggi di Indonesia mengajarkan hard skill lebih dari 95%, sedang soft skill hanya diajarkan sebagai ekstra kurikuler. Kesadaran pengajaran soft skill secara intrakurikuler telah mulai tumbuh di beberapa perguruan tinggi dalam 3 tahun terakhir,  seperti:  SBM-ITB,  STEKPI,  Prasetya  Mulya,  Binus Internasional, dan sejenisnya.

Pendidikan kewirausahaan yang berorientasi pada mengubah mind set berwirausaha dan memberikan pengalaman berbisnis secara nyata, dinilai lebih efektif untuk menumbuhkan jiwa dan kemampuan berwirausaha di kalangan mahasiswa.  Kebebasan bagi peserta didik untuk memilih bidang usaha terbukti lebih efektif daripada peserta didik dipaksa melaksanakan bidang usaha yang telah ada, sebagaimana kasus di banyak SMK di Indonesia.

F.     Peran Lembaga Pelatihan Kewirausahaan Dalam Penumbuhan Unit Usaha Di Indonesia
Lembaga  pelatihan  kewirausahaan  relatif  banyak  ditemui, berupa: lembaga pelatihan menjahit, lembaga pelatihan membuat kue, lembaga pelatihan komputer, dan berbagai bentuk pelatihan lainnya. Tujuan  utamanya  adalah  memberikan  ketrampilan  teknis  kepada peserta didiknya agar mampu bekerja dibidangnya, sebagai: penjahit, pembuat kue, dan teknisi komputer.

Lembaga  pelatihan  ketrampilan  memiliki  potensi  untuk menumbuhkan  unit  usaha  baru  yang  relatif  lebih  besar kemungkinannya  daripada  lembaga  pendidikan  formal,  karena lembaga  pelatihan  lebih  berorientasi  pada  memberikan  bekal ketrampilan praktis yang lebih mudah diaplikasikan oleh peserta didik dalam dunia bisnis secara nyata. Menurut Pengurus HIPKI (Himpunan Penyelenggara Kursus Indonesia) menyatakan sulit untuk mengetahui jumlah lembaga kursus yang tepat, karena banyak lembaga kursus yang berdiri dan ditutup dalam waktu relatif singkat.  Jumlah lembaga pelatihan ketrampilan di Indonesia yang menjadi anggota HIPKI diperkirakan 25.000 lembaga, yang terbagi dalam 10 rumpun dengan 160 jenis ketrampilan, yang sangat beragam.  Dari 25.000 lembaga kursus tersebut sebagian besar termasuk dalam kategori lembaga kursus yang kecil, dengan sumberdaya manusia dan fasiltas yang sangat terbatas. Lembaga pelatihan ketrampilan ini diperkirakan dapat mendidik lebih dari 1 juta orang tenaga terampil per tahunnya.

Revitalisasi lembaga pelatihan ketrampilan menjadi lembaga pelatihan  kewirausahaan  sangat  penting,  karena  dapat  menjadi stimulan tumbuhnya unit usaha baru berskala usaha rumah tangga dan usaha skala kecil. Jika 10% dari lulusan lembaga pelatihan ketrampilan dapat didorong berwirausaha, maka akan tumbuh 100.000 unit usaha baru (berskala usaha mikro dan kecil) per tahunnya, dan beberapa lembaga pelatihan diharapkan dapat menstimulan tumbuhnya usaha kecil dan menengah, seperti: bidang photography, salon kecantikan, industri makanan dan lain-lain.

Tabel 1. Proses Penumbuhan Unit Usaha Baru Melalui Lembaga Pelatihan Ketrampilan
Revitalisasi  lembaga  pelatihan  ketrampilan  dapat  dilakukan melalui: (1) akreditasi dan sertifikasi lembaga pelatihan ketrampilan, (2) dukungan perkuatan untuk meningkatkan mutu tenaga pelatihnya, (3) dukungan perkuatan untuk pengembangan sarana dan prasarana pelatihan, (4) dukungan akses pembiayaan bagi lulusan lembaga pelatihan ketrampilan berakreditasi yang membuka usaha mandiri, (5) mengembangkan  kemitraan  antara  lembaga  pelatihan  ketrampilan dengan  dunia  usaha,  dan  (6)  mengembangkan  kebijakan  yang mendorong pertumbuhan industri pelatihan ketrampilan. Peran industri pelatihan ketrampilan dalam penumbuhan unit usaha baru masih dapat ditingkatkan produktivitasnya, jika didukung sistem insentif berupa dukungan permodalan untuk memulai usaha bagi lulusannya, serta didukung sistem mentoring yang memadai.

Mentoring berperan besar dalam menstimulan seorang calon wirausaha baru menjadi wirausaha yang membuka unit usaha yang dikelola secara paripurna.   Mentor idealnya adalah pengusaha yang sukses yang mampu memberi inspirasi bagi orang lain untuk segera membuka  usaha.  Pola  mentoring  relatif  cukup  efektif  untuk menumbuhkan wirausaha, namun jumlahnya masih sangat terbatas, karena jumlah mentor atau pengusaha yang bersedia menjadi mentor bagi calon wirausaha di Indonesia masih sangat sedikit, antara lain: Purdie E Chandra yang mengembangkan lembaga pendidikan informal berupa Entrepreneur University dan Hendy Setiono, 24 tahun dari Surabaya, pemilik Kebab Turki Babarafi dan Yummy Burger.

Business Development Services Provider yang difasilitasi oleh Kementerian Koperasi dan UKM salah satu perannya adalah dapat mendampingi UKM untuk mengembangkan usahanya dan menjadi mentor usaha bagi UMKM yang baru tumbuh di sentra-sentra UKM. Jumlah sentra UKM yang difasilitasi selama 5 tahun lebih dari 1000 sentra yang tersebar di seluruh Indonesia, dan sebagian besar BDS-P telah  melaksanakan  tugas  sebagai CDS  (community  development services)  secara  memadai,  tapi  hanya  sedikit  yang  mampu memerankan sebagai business develompent services.  Bahkan dalam survei  ini  tidak  dijumpai  BDS-P  yang  memiliki  program menumbuhkan unit usaha baru, padahal BDS-P merupakan salah satu lembaga yang didesain mampu menjadi mentor bagi calon wirausaha atau wirausaha yang baru untuk mengembangkan bisnisnya.

G.   Peran Asosiasi Dan Koperasi Dalam Penumbuhan Unit Usaha Baru
Asosiasi pengusaha sejenis telah cukup banyak di Indonesia, jumlahnya ratusan yang terdaftar di Departemen Perindustrian dan/ atau Kementerian Koperasi dan UKM lebih dari 176 asosiasi.  Secara umum  tujuan  asosiasi  adalah  memberdayakan  anggotanya  untuk meningkatkan akses pasar, meningkatkan produktivitas anggotanya, dan  wahana  memperjuangkan  kebijakan  pemerintah  yang  sesuai dengan kepentingan industrinya. Asosiasi umumnya tidak mempunyai program khusus untuk pengembangan unit usaha baru, tapi memiliki program  pelatihan  dan  forum  temu  bisnis  yang  bertujuan meningkatkan kapasitas anggotanya.

Asosiasi  Industri  Permebelan  dan  Kerajinan  Indonesia (Asmindo) memiliki program pengembangan anggotanya berupa: pelatihan, advokasi, pendampingan, sharing informasi, dan pemberian informasi pameran. Rata-rata pertambahan anggota per tahunnya sebanyak  50  anggota.    Alasan  anggota  masuk  sebagai  anggota Asmindo adalah membangun komunitas permebelan dan kerajinan, dengan harapan dapat memperluas pasar dan difasilitasi mengikuti pameran. Asmindo mendorong para pengrajin agar berani membuka usaha mandiri, namun Asmindo tidak memiliki program khusus untuk menumbuhkan unit usaha baru.

Asosiasi  Pengrajin  Kecil  Republik  Indonesia  (APIKRI) Yogyakarta memiliki anggota aktif sebanyak 80 orang ditambah 200 pengrajin yang belum menjadi anggota tapi aktif mengikuti kegiatan APIKRI, bahkan pengrajin yang aktif mengakses program APIKRI rata-rata bertambah 25 – 50 orang pengrajin per tahunnya, tapi pertambahan anggota umumnya hanya berkisar 5 orang per tahunnya. APIKRI pernah memiliki program penumbuhan unit usaha baru dengan melakukan pelatihan kepada 50 orang di Wilayah Bantul pasca gempa, dan ternyata 50% telah menunjukkan ketertarikan sebagai pengrajin dengan mengirimkan sampel produk ke APIKRI.

Ikatan Nasional Konsultan Indonesia (INKINDO) di setiap daerah (Jatim, DIY, NTB, Kalbar) memiliki anggota yang berjumlah ratusan, yang terbanyak ada di wilayah DKI Jakarta dan Jawa  TimurInkindo  memiliki  program  peningkatan  kapasitas anggotanya, tapi tidak memiliki program khusus untuk penumbuhan unit usaha baru. Pertumbuhan kantor konsultan baru umumnya dimulai dari  konsultan  yang  bekerja  sebagai  tenaga  ahli  di  perusahaan konsultan,  setelah  memiliki akses  dan jejaring  kerja  selanjutnya membuka usaha konsultan sendiri.

Koperasi (baik koperasi primer dan sekunder) yang dijadikan responden hampir secara keseluruhan menyatakan tidak memiliki program penumbuhan unit usaha baru secara langsung; namun ada beberapa  koperasi  yang  menyatakan  anggotanya  dapat mengembangkan usahanya dari modal pinjaman dari koperasi, yang sebelumnya hanya punya satu kios dapat berkembang menjadi dua kios di pasar.  Koperasi yang bergerak dalam kegiatan simpan-pinjam yang berperan besar untuk menumbuhkan unit usaha anggotanya, melalui peningkatan kapasitas pembiayaan, sehingga anggota dapat melakukan diversifikasi usaha atau membuka tempat usaha yang baru atau membuka cabang.   Untuk itu, pengembangan lembaga keuangan mikro terutama KSP/ USP Koperasi di Indonesia terutama di daerah pedesaan atau sentra-sentra usaha UMKM perlu terus dilaksanakan, melalui pemberian dukungan peningkatan kapasitas kelembagaan dan usaha koperasi.

Dengan demikian, proses penumbuhan unit usaha baru oleh Asosiasi/ Koperasi  umumnya melalui peningkatan kapasitas usaha anggota, yang memungkinkan anggota menambah outlet usaha atau diversifikasi usaha atau dampak ikutan dari pertumbuhan industri anggotanya.

H.   Peran Usaha Waralaba Dalam Menumbuhkan Unit Usaha Baru
Salah satu cara berbisnis yang dianggap terbaik buat pemula adalah melalui usaha waralaba, atau ikut menjalankan bisnis yang sudah lebih dulu  berhasil. Keuntungannya antara lain: (1) Tidak perlu repot dengan urusan teknis yang rumit, seperti rasa, bentuk dan manajemen; (2) Sarana dan prasarana sudah disiapkan; (3) Mereka sudah berpengalaman dan terbukti berhasil, sehingga mitra lokal bisa belajar; (4) Investasi relatif rendah; (5) Resiko gagal juga lebih rendah dibanding bisnis sendiri; (6) Ada pihak lain yang mengontrol dan memberikan  pelatihan;  dan  (7)  Biasanya  merk  sudah  terkenal. Sedangkan kekurangan dari sistem waralaba ini adalah (1) Tidak punya kebebasan; (2) Terikat dengan pemilik merk/francisor; (3) Lama dalam mengambil keputusan, dan (4) Tidak dapat berimprovisasi dalam soal rasa/bentuk.

Input model yang utama adalah unit usaha yang telah berhasil, yaitu terbukti produknya telah diterima konsumen dengan baik dan berpotensi untuk dikembangkan di tempat lain.  Proses yang utama adalah upaya standarisasi proses usaha atau proses produksi sehingga dapat direplikasi oleh mitra usaha di tempat lain. Proses lain yang dilakukan adalah pelatihan dan pendampingan mitra.  Proses ini adalah langkah-langkah dimana Pewaralaba mencoba mengklon (cloning) usahanya sehingga menjadi 2 atau lebih yang serupa.

Kinerja model waralaba dapat dibilang mengesankan. Edola burger  (Jakarta)  misalnya,  dalam  waktu  2  tahun  berhasil menumbuhkan 450 mitra lokal (gerai) di seluruh Indonesia, sedangkan Tela-tela  (D.I.Yogjakarta)  dalam  6  bulan  pertama  berhasil menumbuhkan 41 gerai di dalam dan diluar Jogjakarta.  Dengan demikian secara rata-rata sebuah waralaba dapat menumbuhkan antara 80 hingga 225 unit usaha baru dalam waktu satu tahun.  Menurut catatan, ada sekitar 300 merek waralaba di Indonesia pada saat ini, dimana 50% nya bergerak di bidang makanan dan minuman.  Dari 300 pewaralaba tersebut, 125 merek diantaranya merupakan waralaba lokal.  Dari 125 waralaba lokal ini, sekitar 20% adalah waralaba besar seperti Rumah Makan Wong Solo dan 80% sisanya merupakan waralaba yang memungkinkan untuk usaha kecil seperti Usaha Edam Burger dan Edola Burger.  Jika pertumbuhan mitra waralaba besar adalah 5 mitra per tahun dan waralaba kecil adalah 150 mitra pertahun, maka pertumbuhan unit usaha baru dari model waralaba lokal adalah sekitar 15.000 unit usaha baru per tahunnya.  Unit usaha baru ini dapat menyerap antara 16.000 hingga 23.750 tenaga kerja.

I.       Direct Selling/MLM
Direct  selling  adalah  kegiatan  penjualan  barang  atau  jasa konsumsi (consumer product or service) dari pintu-ke-pintu secara langsung kepada konsumen akhir, jauh dari lokasi penjualan yang tetapnya. Penumbuhan unit usaha dari model direct selling berasal dari pengangkatan  distributor  mandiri  yang  bersedia  menjadi  agen pemasaran dan penjualan produk perusahaan induk. Output model ini adalah pribadi-pribadi dengan motivasi yang tinggi untuk mencapai tujuan penjualan dan unit usaha baru dalam bentuk distributor-distributor mandiri tersebut.  Barang dan jasa ini dipasarkan langsung kepada pelanggan oleh tenaga penjual yang independent. Sebutan terhadap  tenaga  penjual  beragam  seperti  : distributor/representative/konsultan  atau  lainnya.  Produk  dijual terutama melalui jalur (1) demo produk di rumah, (2) kelompok, dan (3) one-on-one selling.

J.      Model Inkubator Bisnis
Inkubator  adalah  lembaga  yang  bergerak  dalam  bidang penyediaan  fasilitas  dan  pengembangan  usaha,  baik  manajemen maupun  teknologi  bagi  Usaha  Kecil  dan  Menengah  untuk meningkatkan  dan  mengembangkan  kegiatan  usahanya  dan  atau pengembangan produk baru yang berdaya saing dalam jangka waktu tertentu.  Jika yang menjadi mitra adalah sebuah unit usaha baru, maka inkubator  biasanya  disebut  sebagai  Inkubator  Usaha  (business inkubator).

Di beberapa daerah, Inkubator yang ditemui dilaksanakan atau berada di dalam wilayah Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta.  Hal ini karena perguruan tinggi relatif memiliki kuantitas dan kualitas  dukungan  sumber  daya  manusia  yang  cukup,  memiliki reputasi  sehingga  dapat  dipercaya,  kesesuaian  dengan  tridharma perguruan tinggi, dan letaknya yang relatif tersebar di seluruh propinsi Indonesia sehingga dapat menjangkau UKM yang letaknya juga tersebar di seluruh Indonesia.  Disamping perguruan tinggi, inkubator sebenarnya  juga  dilaksanakan  oleh  pemerintah  daerah,  lembaga swadaya masyarakat, BUMN dan program pengembangan masyarakat pada beberapa perusahaan swasta nasional besar. Inkubator yang dilakukan oleh perusahaan swasta adalah seperti yang dilakukan oleh PT Astra Honda Motor dan seniman Sapto Hudoyo, Pemerintah Pusat : BIT BPPT, Pemda Jatim, Kadinda Tingkat I Jatim bekerjasama dengan ITS : Surabaya Businns Incubator Centre (SBIC).




K.   Penumbuhan Unit Usaha Baru Dalam Model Sub-Kontrak
Sub kontrak sebagai suatu kemitraan antara usaha besar dan usaha kecil merupakan suatu praktek usaha yang dapat mendorong daya  saing  UKM,  membantu  penyerapan  tenaga  kerja,  serta memberikan nilai tambah dan produk di level nasional. Sub kontrak adalah bentuk hubungan dalam suatu kemitraan antar kelompok UKM dengan  perusahaan  mitra.    Biasanya  kelompok  mitra memproduksi/memasok  komponen/bahan  baku  produksi  yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya.

Prinsip saling membantu akan muncul apabila usaha besar memang membutuhkan kehadiran usaha kecil. Program subkontrak yang telah berjalan dari Grup Astra dan Bukaka, misalnya, merupakan contoh betapa jalinan kemitraan dapat meningkatkan efisiensi. Astra mensubkontrakkan  pembuatan  suku  cadang  kendaraan  bermotor kepada para pengusaha kecil di Jawa.  Bukaka juga mempercayakan pembuatan bagian-bagian tertentu dari "garbarata" kepada pengusaha kecil. Demikian juga, pengusaha-pengusaha batik nasional mendapat pasokan dari pengusaha skala kecil di Yogya dan Surakarta.

L.    Penumbuhan Unit Usaha Pada Model Formal Bisnis – Non Kontrak
Model  penumbuhan usaha secara formal bisnis umumnya dilakukan oleh usaha berskala menengah dan besar. Pendorong utama pertumbuhan unit usaha adalah perluasan pasar. Bentuk perluasan usaha  dapat  dilakukan  secara  mandiri  dengan  membuka  anak perusahaan dan membuka kantor cabang.

M.  Penumbuhan Unit Usaha dari Sektor Informal
Penumbuhan unit Usaha dari sektor informal dapat dikategorikan dalam beberapa jenis, yaitu: a). Penumbuhan Unit Usaha Baru dari Kekerabatan, dalam model ini, unit usaha baru muncul karena mencontoh perilaku wirausaha, produk, dan ketrampilan teknis/usaha dari kerabat yang telah memulai usaha sejenis terlebih dahulu. Dalam model Kekerabatan, wirausahawan biasanya telah mengenal/ terlibat cukup  lama  dengan  proses  produksi/operasi  dari  usaha  yang dicontohnya. b). Penumbuhan Unit Usaha Baru dari Pekerja yang Membuka Usaha sendiri, disini pekerja yang keluar dari tempat kerjanya  yang  lama  kemudian  membuka  usaha  sendiri  yang menghasilkan produk sejenis.  Hal ini biasanya karena komoditas dihasilkan  berteknologi  sederhana,  sehingga  mudah  ditiru,  c). Penumbuhan Unit Usaha Baru Karena Kebetulan, contohnya hotel meminta dia untuk membeli pisang goreng untuk kudapan para peserta rapat yang sering diadakan di hotel, d) Penumbuhan Unit Usaha Baru  karena  Keterpaksaan,  dalam  keadaan  terpaksa,  untuk menyambung hidup keluarganya seseorang dengan ketrampilan yang dimilikinya  dapat  membuka  usaha  baru,  e).  Model  Informal, penumbuhan unit usaha ini biasanya menghasilkan unit usaha baru pada skala mikro dan kecil. Kendatipun demikian, model ini diduga memberikan sumbangan yang cukup besar (90%) dalam penumbuhan unit usaha baru. Potensi pertambahan unit usaha yang sifatnya informal dapat mencapai 1.000.000 unit usaha per tahunnya. Pertanian adalah sektor yang paling banyak menumbuhkan unit usaha informal ini, sekitar 46% unit usaha baru yang informal dihasilkan sektor ini. Selanjutnya  sektor  perdagangan,  hotel  dan  restoran  diduga memunculkan sekitar 25% unit usaha informal baru.  Setelah itu ada sektor Pengangkutan dan komunikasi serta sektor Jasa-jasa yang memunculkan sekitar 14% dan 10% unit usaha.

N.   Model Penumbuhan Usaha baru Dari Program Sentra
Sentra UKM tampak cukup efektif menumbuhkan unit usaha baru, Terutama usaha mikro dan kecil dengan spesifikasi produknya mudah ditiru (teknologi sederhana dan modalnya rendah) dan pasar yang mudah berkembang. Hasil  studi  menunjukkan  bahwa  secara  umum  terjadi perkembangan yang relatif signifikan di dalam sentra. Perkembangan sentra tahun 2001 hingga 2004, menunjukkan terjadinya peningkatan kapasitas sentra. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah UKM yang ada dalam sentra, meningkatnya jumlah tenaga kerja yang terserap  dan  meningkatnya  rata-rata  omzet  sentra.  Besarnya pertumbuhan unit usaha di dalam sentra adalah 5,46% per tahunnya. Pada tahun 2006, angka pertumbuhan ini diharapkan dapat menjadi 8 hingga 10% per tahunnya jika kondisi ekonomi semakin membaik dan situasi keamanan yang stabil. Pertumbuhan rata-rata jumlah UKM dalam sentra setidaknya menunjukkan  dinamisasi  masyarakat  di  seputar  sentra  untuk memanfaatkan program pengembangan sentra ini, meskipun dinamika ini  belum  menunjukkan  perkembangan  yang  besar  pada  sisi penyerapan tenaga kerja dan volume usaha.

Bagan 3. Model Pertumbuhan Unit Usaha Baru

O.   Program Penumbuhan Usaha Baru Dengan Program Prospek Mandiri
Program prospek mandiri digulirkan pada tahun 2006.  Program ini merupakan program kerjasama antara Kementerian Koperasi dan UKM dengan Pemerintah Daerah. Dalam program ini Kementerian Koperasi dan UKM memberi dukungan berupa peralatan dan modal kerja, sementara Pemerintah Daerah memfasilitasi penyediaan tempat berusaha secara gratis. Tujuan  program  adalah:  (1)  Mengurangi  pengangguran khususnya pada segmen tenaga kerja terdidik, (2) Mengatasi masalah keterbatasan kemampuan SDM koperasi, (3) Pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber daya alam, dan (4) mendorong sarjana menjadi kelompok yang berperan mendorong efek trickle down dalam bidang ekonomi  dan  teknologi.    Sedangkan  sasaran  program  adalah terwujudnya usaha baru yang dikelola oleh sarjana dalam wadah koperasi.

P.     Penumbuhan Unit Usaha Baru Melalui Kelompok Usaha Bersama (KUB)
Pendekatan KUB diawali dengan pembentukan kelompok yang terdiri dari 10 sampai 15 keluarga sasaran dalam satu wilayah yang berdekatan. Keluarga sasaran dapat berdasarkan kelas sosial ekonomi atau faktor demografi lainnya. Kepada kelompok kemudian ditugaskan seorang  motivator  untuk  menjadi  pengikat  dan  pendinamisasi kelompok.  Langkah yang dilakukan biasanya adalah melakukan pertemuan berkala untuk (1) menggali ketrampilan yang dimiliki oleh masing-masing anggota kelompok, (2) melakukan pembentukan modal kelompok secara mandiri, (3) memilih dan memproduksi barang yang akan  dihasilkan  oleh  kelompok,  (4)  melakukan  cross  fertilisasi ketrampilan antar anggota kelompok melalui porses belajar sambil bekerja, (5) pemilihan produk unggulan yang akan menjadi produk utama kelompok, (6) Memproduksi produk unggulan kelompok sesuai kemampuan kelompok. Dalam model KUB, peran motivator kelompok amat vital. Kelompok yang berhasil berkembang adalah kelompok yang memiliki motivator yang aktif,  berjiwa wirausaha, dan dapat diterima anggota kelompoknya.

Bagan 4.  Proses Kerja Kelompok Usaha Bersama (KUB)

Q.   Penumbuhan Unit Usaha Baru Melalui Program Pekerja Mandiri di Balai Latihan Kerja 
Balai Latihan Kerja (BLK) lahir untuk menjawab kebutuhan lulusan  lulusan  SMP  dan  SMA  yang  tidak  dapat  melanjutkan pendidikan agar mampu berkarya di bidang lain melalui pembekalan sejumlah keterampilan. BLK diharapkan menjadi motor penggerak dan percontohan dalam melatih ketrampilan agar dapat mengisi lowongan kerja  yang  sesuai  dengan  kebutuhan  pasar  kerja  dan  mampu menciptakan lapangan kerja secara mandiri.

BLK merupakan unit pelaksana teknis yang berada di bawah pengawasan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. BLK tampak cukup  efektif  untuk  menumbuhkan  unit  usaha  baru  di  sektor perbengkelan, jasa konveksi, dan usaha lainnya.

R.    Dukungan Perkuatan dan Kemungkinan Masyarakat Berwirausaha
Kemungkinan berusaha dipengaruhi oleh kesempatan usaha yang ada, kemauan dan kemampuan berwirausaha. Adanya kemungkinan berusaha dan faktor pendorong berupa dukungan keuangan dan non-keuangan  akan  mendorong  lahirnya  usaha  baru.  Hasil  studi mengindikasikan kemungkinan berusaha di Indonesia menurut persepsi responden sangat besar, karena: (1) kesempatan usaha sangat terbuka, (2) keinginan  menjadi  wirausaha  relatif  besar,  dan  (3)  kemampuan berwirausaha  cukup  memadai.  Dengan  demikian,  faktor  penentu kemungkinan masyarakat menjadi wirausaha adalah dukungan keuangan dan dukungan non-keuangan, berupa: akses pasar, informasi bisnis, akses teknologi dan ketrampilan, serta jaringan distribusi untuk bahan baku dan produk yang dihasilkan. Berdasarkan  hasil  analisis,  maka  gambaran  umum  upaya penumbuhan unit usaha baru dapat diikuti secara visual berdasarkan warna untuk setiap variabel yang berpengaruh pada bagan 3.
Bagan  5. Kondisi Penumbuhan Unit Usaha Baru di Indonesia

Keterangan:
  • Warna Hijau menunjukkan kondisi yang telah sesuai dengan persyaratan penumbuhan unit usaha baru
  • Warna Kuning menunjukkan kondisi yang masih perlu diupayakan agar sesuai dengan persyaratan penumbuhan unit usaha baru.
  • Warna Merah menunjukkan kondisi yang perlu segera ditingkatkan/direkayasa agar sesuai dengan persyaratan penumbuhan unit usaha baru

Download Di Sini 
Share: